09 Maret 2005

kontemplazi

Sederhana itu indah

(sebuah perenungan,)

Sederhana, sebuah kata yang semakin menjauh dari kehidupan kita sehari-sehari. Dimana kehidupan semakin berkembang seiring kemajuan teknologi dan perangkat keseharian. Kalau di jaman dahulu orang bepergian dengan naik sepeda kayuh sambil menikmati udara segar dan rindangnya pepohonan serta bermacam-macam burung yang menjadikannya sarang, sekarang kita tak lagi mungkin menikmatinya, kecuali benar-benar meluangkan waktu dan benar-benar menjadikan refreshing atau plesiran menjadi tujuan utama kita menuju di daerah pedesaan atau di lereng-lereng gunung.

Dijaman yang serba maju ini, segala kemudahan telah tersedia, orang tak lagi perlu repot menulis surat untuk berkomunikasi dengan saudara, atau pun handai taulan, cukup angkat telepon atau pencat-pencet keypad hp, terkirimlah sms…meskipun segala kepraktisan ini tak bisa mewakili benar apa yang kita inginkan.

Taruhlah misalnya sms, yang tak seindah dan kurang meninggalkan kesan yang dalam bagi mereka yang sedang kasmaran, dibandingkan dengan surat cinta seperti di jaman orang tua kita dahulu, karena memang berisi tulisan tangan asli dari orang tercinta dan mampu membekas dalam pada ingatan kita, dan akan selalu indah jika kita mengenangnya.

Sederhana, ketika dimaknai dalam sebuah perenungan yang dalam, membawa kita pada sebuah ketenteraman hati. Terutama seandainya kita memaknainya lebih dalam untuk urusan materi kebendaan, pejabat tak lagi perlu korupsi, karena sederhana berarti menerima apa yang seharusnya menjadi haknya dan mensyukurinya, tak perlu lagi mencaplok apa yang bukan menjadi haknya.

Sebuah masyarakat di Pulau Simeulue, salah satu kabupaten di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, merupakan salah satu komunitas yang masih memelihara kesederhanaan meski tanpa sadar.

Mereka menerima apa adanya yang telah diberikan untuk mereka, ketika berkali-kali terjadi bencana, baik gempa bumi maupun tsunami, mereka menerima dengan kepasrahan. Dengan sederhana pula mereka mengantisipasi adanya tsunami, ketika gempa kuat terjadi, mereka segera mengungsi ke pegunungan dengan salah satu atau beberapa orang dari mereka menengok garis pantai, jika air laut naik mereka telah bersiap-siap akan datang nya tsunami, hal demikian mereka ketahui dari kisah nenek moyang mereka yang diceritakan turun temurun, setelah terjadinya tsunami di tahun 1907. Dan kebanyakan dari mereka selamat ketika gelombang besar tsunami dan gempa dahsyat mengguncang bumi mereka.

Ketika harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, terutama harga BBM di kios yang melambung hingga dua-tiga kali lipat (kadang lebih, tergantung stok di pasaran) dengan harga resmi, mereka pun menerima dengan kesederhanaan. Memang orang bisa berdalih bahwa mereka terpaksa menerima keadaan tersebut, karena memang letak geografis pulau itu berada di tengah samudra, sehingga tak ada pilihan lain selain menerima apa adanya. Namun keterpaksaan itu tidak menjadi sebuah pembenaran untuk melakukan kejahatan, karena daerah ini merupakan daerah dengan tingkat kejahatan yang rendah. Tidak seperti yang kita lihat di tayangan berita di televisi, dimana keterpaksaan karena keadaaan menjadi sebuah keniscayaan untuk melakukan kejahatan.

Sederhana, tidak hanya merupakan perwujudan dari kepemilikan materi, kekayaan, maupun jumlah nominal. Namun kesederhanaan bisa diwujudkan dalam perilaku dan gaya hidup, sederhana tidak harus miskin. Meskipun yang terjadi belakangan ini adalah logika terbalik: pamer tidak harus kaya, dengan segala daya upaya orang ingin memamerkan kekayaan entah dengan cara apa mereka memperolehnya. Hal ini lah yang seringkali memicu serta menjadi inspirasi terjadinya korupsi. Ketika orang tak lagi menemukan cara legal untuk menambah kekayan, (bukan memperoleh kekayaan, karena mereka yang bisa korupsi pasti sudah kaya). Meskipun, dengan demikian mereka malah menjadi tambah miskin, karena orang miskin adalah orang yang tidak puas dengan nikmat yang ada dan selalu menumpuk-numpuk harta.

Sederhana, bukan pula berarti kembali kejaman nenek moyang kita dahulu, kemana-mana jalan kaki, hidup tanpa listrik. Namun, sederhana sebagai sebuah perenungan dan paradigma dalam memaknai hidup akan membawa kita untuk selalu bersyukur atas apa yang telah kita terima. Memang, sering kita dengar jargon maupun slogan back to nature; kembali ke alam, dalam banyak bidang, misalnya pembangunan, pembangunan yang baik adalah pembangunan yang selaras dengan alam, atau istilah keren-nya pembangunan terpadu, teknologi; teknologi yang baik adalah teknologi yang tidak merusak alam, atau friendly. Bisa jadi itu adalah manifestasi dari kesederhanaan, yang mengikuti arus kekinian meskipun yang terjadi baru sebatas retorika dan ungkapan pemanis bibir.

Sebagus apapun itu, baik barang konkret maupun abstrak, seperti misalnya teknologi, ilmu pengetahuan maupun ide-ide, adalah tergantung dari mereka yang memiliki dan menggunakan. Ambil contoh sederhana, pisau dapur misalnya, di tangan ibu rumah tangga pisau dapur adalah alat yang sangat berguna, untuk memasak dan pada akhirnya menyambung kehidupan keluarga dan anak-anak. Namun pisau dapur di tangan pencuri yang kepergok didalam rumah, bisa menjadi alat pembunuh yang mematikan serta menjadi alat perenggut kehidupan.

Sederhana, adalah sebuah pilihan melawan arus, non mainstream. Tapi mari kita coba sekali-kali kita renungkan, hidup dijaman nenek moyang, atau melihat film-film jadul (jaman dulu), menerima sedikit kemudahan (yang dijaman sekarang mungkin tak ada artinya) menjadi sesuatu yang sangat indah..

dari lemari lama,
Banda Aceh,

07 Maret 2006