25 Maret 2008

melihat berita

melihat berita di indonesia, baik membaca koran maupun menyimak televisi, selalu membuat kening berkerut dan dada memelas, mengapa..??
hampir tak ada berita yang bukan merupakan berita buruk, baik bencana banjir, angin ribut, gizi buruk, maupun kecelakaan demi kecelakaan, atau pun berita mengenai bobroknya sistem yang ada di indonesia ...

tak heran ketika infotainment, yang secara sepihak juga mengaku sebagai pewarta berita laku keras, karena menyuguhkan sesuatu yang jauh dari berita di dunia nyata, berisi hingar bingar dunia mimpi selebriti... yang secara bawah sadar merupakan impian manusia normal.. hidup berkecukupan, foya-foya, terkenal dan mati setelah bertobat dan berdakwah.. meskipun ternyata itu adalah utopia dari kehidupan sesungguhnya di negara ini yang konon kaya raya, istilah jawanya gemah ripah loh jinawi

premis mencari oase kehidupan itulah juga, menurut beberapa kalangan yang melandasi suksesnya film Ayat-Ayat Cinta (AAC), meskipun secara standard akting dan sinematografi perfilman jauh dari kualitas.
belum lagi jika dikaitkan dengan visi dan misi penulis novelnya, karena terjadi distorsi visi disana sini. satu contoh, ketika seorang selesai menonton film tersebut berkomentar bahwa film itu mendukung poligami. padahal menurut benang merah novel tersebut justru menggambarkan bahwa salah satu kondisi yang memperbolehkan poligami ketika si suami harus menolong perempuan yang bukan muhrim dengan memegang dan menghibur si perempuan yang mencintainya , notabene, haram dilakukan, maka untuk menjadi halal adalah dengan menikahinya terlebih dahulu, sekedar hanya untuk menolong si perempuan, sekaligus menolong dirinya di persidangan, karena posisi perempuan tersebut adalah saksi kunci...

namun, setiap sesuatu yang memunculkan kontroversi, akan semakin membuatnya melambung,
tidak percaya? tanya saja cyntia lauwra.....

05 Maret 2008

sekedar cerpen

LAKI-LAKI PENJUAL PANTUN

Pasar itu terletak di Kecamatan Sengkarut. Pasar yang setiap pagi,belum lama ini selalu ramai diserbu pengunjung. Pengunjung mulai mengalir datang pada saat ayam berkokok pertanda fajar pagi mulai hadir memulai hari. Sebenarnya tidak banyak penjual yang berjualan di pasar itu, mereka lebih memilih berjualan di pasar kecamatan sebelah yang lebih besar dan padat penduduknya.

Tapi sudah seminggu ini pasar tersebut mulai ramai pengunjung. Pagi selepas subuh mereka sudah berkumpul disudut pasar. Tapi mereka datang berduyun-duyun ke pasar itu bukan untuk berbelanja melainkan untuk menunggu seorang laki-laki paruh baya yang biasa mangkal di depan ruko kosong yang sudah ditinggal pemiliknya. Laki-laki itu setiap pagi sampai menjelang siang berdiri didepan ruko kosong itu. Laki-laki itu adalah seorang penjual pantun. Setiap pagi laki-laki itu berceloteh ringan dan kemudian bersila didepan sebuah mangkuk kaleng, tempat orang-orang melempar receh. Orang-orang itu seperti terhipnotis pada setiap pantun yang dicelotehkan laki-laki itu. Laki-laki itu selalu menggunakan pantun ketika menjawab orang-orang yang mengerubunginya. Laki-laki itu berpenampilan kumal, dan hampir setiap hari mengenakan pakaian lusuh yang sama. Tak ada orang yang benar-benar mengenal, dari mana laki-laki kumal itu berasal.

Kecamatan Sengkarut sendiri adalah sebuah wilayah yang tidak terlalu luas, hanya terdapat empat desa di wilayah kecamatan itu. Desa itu adalah desa Gemah Ripah, Desa Loh Jinawi, desa Tata Tentrem, dan yang terakhir adalah Desa Kerta Raharja, ibu kota Sengkarut. Kehidupan kecamatan itu selalu dirundung masalah, baik kerusuhan kecil maupun besar, permusuhan antar desa seperti menjadi bagian kehidupan mereka. Hingga warga pun tak sempat membangun desa mereka, perekonomian tersendat-sendat, tak ada kemajuan berarti selama puluhan tahun.

Sejarah kecamatan Sengkarut sendiri tidak terlalu enak untuk dikisahkan, setiap pergantian camat selalu diwarnai dengan hiruk pikuk, kericuhan atau pertumpahan darah. Suatu kali, camat dituntut ramai-ramai mundur oleh warga karena mengutil dana bantuan dari Bupati untuk beli kayu bakar warganya. Pernah juga seorang camat tewas dikeroyok keluarga perempuan yang bunting dan mengaku perbuatan si camat, tentu saja camat tersebut tidak mengakui. Lain waktu, seorang camat ditemukan mati secara misterius di sebuah parit dipinggir sawah.

Namun untuk pertamakalinya dalam sejarah kecamatan Sengkarut terjadi pergantian camat secara damai tanpa insiden apapun.

Camat yang baru itu bernama Durjonomo, dulunya adalah orang kepercayaan camat terdahulu, Camat Laknatono, yang meninggal karena sakit jantung, begitu kata dukun yang pernah mengobati. Tak ada tanda-tanda keanehan dalam kematiannya karena usianya pun memang sudah uzur.

Warga kecamatan Sengkarut menaruh harapan besar pada kepemimpinan camat Durjonomo, karena dialah orang pertama yang naik menjadi camat dengan cara yang wajar. Perekonomian kecamatan itu pun mulai perlahan membaik, pasar-pasar mulai ramai, sekolah – sekolah diperbaiki, jalan diperkeras.

Namun keadaan itu tak berlangsung lama, sebulan kemudian hadirlah laki-laki setengah waras yang selalu mangkal di sudut pasar itu. Laki-laki itu, tak lama kemudian menyita perhatian banyak warga, mereka berduyun-duyun dari keempat desa itu untun sekedar menonton, atau berdialog dengan laki-laki itu. Jalanan disekitar pasar macet, mereka datang dari berbagai golongan, pedagang, pegawai swasta, bahkan para pegawai pemerintah pun membludak membanjiri sudut pasar yang tak terlalu luas itu. Gara-gara seorang laki-laki setengah waras yang selalu berpantun itu, hampir seluruh kegiatan kecamatan itu terhenti, setiap pagi sampai menjelang siang, dan anehnya tak ada lagi perkelahian antar warga desa yang sekarang sama-sama bergerombol dalam kerumunan dihadapan laki-laki penjual pantun itu. Padahal untuk mendamaikan ke empat desa tersebut, semua pihak sudah turun tangan, termasuk Bupati, namun ada saja yang membuat permusuhan desa-desa itu tak bisa di redam.


Laki-laki itu selalu berbicara dengan pantun, dibalik kewarasan yang diragukan banyak orang. Dalam setiap awal penampilannya disudut pasar, setiap pagi laki-laki itu membacakan pantun berikut:

“Burung maut mengintai dibalik sarang megah

Menanti mangsa yang sedang berkelana

Negeri Sengkarut negeri yang indah,

Mengapa rakyatnya hidup di balik merana

Dan setelah itu biasanya para pengunjung bertanya macam-macam, yang selalu dijawab dengan pantun.

Sampai akhirnya berita mengenai hadirnya seorang laki-laki setengah waras disudut pasar itu sampai ke telinga Camat Durjonomo. Camat tersebut penasaran seperti apa laki-laki yang ketenarannya telah mengalahkan dirinya itu. Yang membuat seisi kecamatan seperti terhenti kegiatannya dari pagi sampai menjelang siang dan penduduk ramai-ramai bergerombol di sudut pasar hanya untuk menyimak perkataan aneh dari seseorang yang dianggap kurang waras. Dan esok paginya, hadirlah sang Camat disudut pasar, menyamar sebagai petani di tengah-tengah gerombolan penduduk kecamatan. Sang camat dengan tenang dan cermat menyimak apa saja yang disampaikan oleh laki-laki penjual pantun disudut pasar itu.

Kemudian keesokan paginya, sang camat kembali lagi ke pasar itu, tapi kali ini dengan disertai Muspika. Mereka bertiga hadir dengan pakaian dinas serta mengajak beberapa aparat berseragam, menyeruak diantara penduduk bergerombol mengerumuni laki-laki penjual pantun. Dalam sekejap, laki-laki itu ditangkap aparat dengan alasan telah mengganggu ketenteraman warga, menghambat pembangunan, dan mengganggu stabilitas ekonomi kecamatan. Rombongan kecamatan tersebut menggelandang laki-laki penjual pantun dan meninggalkan warga yang masih belum mengerti mengapa laki-laki itu dijadikan kambing hitam macetnya pembangunan wilayah kecamatan yang baru saja dirintis sang camat.

Sampai akhirnya laki-laki setengah waras itu dipenjara di Polsek Sengkarut, dengan tuduhan makar. Para petugas yang menginterogasi pun kesulitan menanyai laki-laki itu, karena setiap pertanyaan selalu dijawab dengan pantun. Bahkan ketika pengadilan pun digelar, masih saja laki-laki itu bicara dengan pantun. Tak ada yang benar-benar memahami maksudnya. Kemudian karena tak paham betul apa yang diucapkannya, laki-laki itu dipenjara sampai mau berbicara normal seperti orang-orang kebanyakan.

Tak lama setelah kisah laki-laki penjual pantun yang berakhir di penjara polsek sengkarut, keempat desa di kecamatan sengkarut rusuh lagi. Mereka saling tuduh, mencari penyebab ditangkapnya laki-laki penjual pantun itu. Dendam lama yang sempat terhapus kini muncul lagi. Keempat warga desa tersebut saling serang, tak ada yang mau mengalah.

Dan negeri sengkarut pun kembali carut marut. .

04 Maret 2008

mukadimah

setelah sekian lama, enggan mengulik huruf-huruf di keyboard.
akhirnya lahir kembali sebuah blog ini
demi sebuah saluran ekresi dan sekresi dari kelenjar-kelenjar otak
yang terus bergerak secara motoris mencari jalan keluar
menjadi sebuah ide, konklusi, hipotesis, atau sekedar rumor dus gossip..